LAHAT, Ampera Sumsel – Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 069/Menkes/SK/II/v2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi (HET) pada Label Obat. Namun pada kenyataannya masih ditemuni banyak pelanggaran atas peraturan yang ditandatangani oleh Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP(K) pada tanggal 7 Februari 2006 ini.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ketua YLKI Cabang Lahat, Ir Sanderson Syafe’i, Rabu (4/1). Padahal latar belakang keluarnya peraturan ini, menurut Sanderon, adalah banyaknya variasi harga obat yang beredar di apotik maupun di pasaran telah menimbulkan ketidakpastian bagi masyarakat dalam memperoleh obat yang dibutuhkan.
“Untuk memberikan informasi harga obat yang benar dan transparan baik bagi masyarakat, perlu mencantumkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada label obat,” ujar Sanderson, saat dibincangi dikantornya.
Pada peraturan ini HET yang dicantumkan pada label obat, kata dia, adalah Harga Netto Apotik (HNA) ditambah PPN 10% ditambah margin apotik 25%. Karena dalam lampiran peraturan disebutkan Pabrik obat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya peraturan ini harus sudah mencantumkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada label obat yang diproduksi dan diedarkan.
“Lalu, apotik dan pedagang besar farmasi yang memiliki obat tanpa label HET pada kemasan lama, masih boleh memperdagangkan paling lambat 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya keputusan ini”, tegasnya, Rabu (4/1).
Sanderson berpendapat, apabila ditemukan pelanggaran, maka pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah pusat, baik departemen kesehatan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BP-POM) bersama dengan pemerintah daerah.
Dengan penetapan keputusan pemerintah ini, lanjutnya, seharusnya tidak ada apotik atau pedagang besar farmasi yang menjual melebihi ketentuan HET. Sebab dalam HET telah jelas menetapkan komponen untuk keuntungan apotik sebesar 25 persen, ditambah PPN 10 persen. Khusus Lahat, keuntungan tersebut akan makin besar dimiliki pedagang, karena di Lahat tidak menetapkan PPN sebesar 10 persen.
“Lantas bagaimana jika masih ditemukan adanya pelanggaran?. Hal yang harus dilakukan adalah, konsumen dapat menanyakan langsung kepada pelaku usaha terhadap selisih harga yang dijual dengan HET yang tercantum pada label obat. Atau konsumen dapat mengadu langsung ke instansi terkait, untuk menanyakan tentang kondisi yang telah ditemukan. Jika hal ini tidak dapat respon yang positif, maka konsumen dapat mengajukan gugatan secara langsung ke Pengadilan Negeri atau ke lembaga arbitrase konsumen yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) setempat. Ataupun dapat mewakilkan gugatannya kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Lahat Raya”, bebernya.
Hal ini, tegas mantan Ketua Karang Taruna Kabupaten Lahat ini, perlu dilakukan karena konsumen berhak untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan benar terhadap barang yang dibelinya. Dan ini diatur dlam UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Yakni pada pasal 7 ayat b yang menyebutkan pelaku usaha berkewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
“Selain itu, pelaku usaha juga dapat dituntut karena melanggar pasal 8 ayat 1f yang menyatakan pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan janji yang dicantumkan pada label, etiket, keterangan barang dan/atau jasa tersebut. Dalam pasal 62 ayat 1 pelaku usaha yang melanggar tersebut diancam hukuman pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar). Jadi masih beranikah pelaku usaha melanggar peraturan ini?”, tandasnya, terkesan bertanya (Prima)