Laporan : Tim Ampera
GEMAS – LAHAT
Konflik pertambangan batubara yang melibatkan masyarakat dan perusahaan pertambangan batubara di Sumatera Selatan khususnya di wilayah Kabupaten Lahat pasca diterbitkannya UU No 4 Tahun 2009 tentang Minerba semakin meningkat. Setidaknya mulai dari proses perizinan, pembebasan lahan, eksploitasi sampai pengangkutan selalu menimbulkan konflik seakan hal ini tidak pernah tuntas justru eskalasinya semakin meningkat.
Adanya unprosedur dan mal administrasi pada proses perizinan yang juga tanpa melibatkan pemangku kepentingan. Pengadaan lahan tambang tanpa melalui prosedur yang benar justru manipulatif, dampak penambangan lebih parah lagi yang menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan warga sekitar seperti perusakan lingkungan, pencemaran sungai yang menyebabkan air sungai tidak dapat dimanfaatkan oleh warga juga pengangkutan hasil tambang batubara telah banyak merenggut nyawa warga.
Hal ini terungkap saat kedatangan perwakilan warga Desa Muara Lawai Kecamatan Merapi Timur Kabupaten Lahat Sumatera Selatan yang diterima langsung oleh Fajrimei A. Gopar Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Republik Indonesia (22/11/2018). Dalam diskusi bersama di ruangan staf ahli presiden, perwakilan warga Jamaludin dan Budi Setiawan menjelaskan secara detail konflik dengan perusahaan tambang yang beroperasi dalam wilayah Desa Muara Lawai khususnya dengan PT. Banjarsari Pribumi.
Dijelaskan oleh Jamaludin, dalam wilayah Desa Muara Lawai terdapat 4 Izin tambang yang sedang beroperasi yaitu PT. Bukit Asam (PT.BA), PT. Golden Great Borneo (GGB), PT. Budi Gema Gempita (BGG) dan PT. Banjarsari Pribumi (BP), khususnya PT. Banjarsari Pribumi tidak pernah mengakui wilayah Desa Muara Lawai, sehingga lahan Desa Muara Lawai ditambang tanpa adanya ganti rugi.
Ditambahkan oleh Budi, IUP PT. Banjarsari Pribumi seluas 519,84 Ha, terdapat 370 Ha lahan itu masuk dalam wilayah Desa Muara Lawai, lahan itu sudah ditambang sebagian dan sebagian belum ditambang tetapi sudah gundul tidak ada lagi tanaman masyarakat” jelas Budi.
Menanggapi laporan warga Muara Lawai, Fajrimei A. Gopar berjanji akan segera menurunkan tim ke Lahat dan segera berkoordinasi dengan pihak – pihak terkait termasuk dengan pemerintahan Kabupaten Lahat.
” Terimakasih atas kedatangan saudara-saudara ke kantor staf presiden yang telah menjelaskan secara detail permasalahannya, dan selanjutnya kami akan segera menurunkan tim untuk berkoordinasi dengan para pihak termasuk Pemkab Lahat agar permasalahan lahan ini cepat diselesaikan,”Janji Fajrimei A. Gopar dengan tegas.
Selain ke Kantor Staf Presiden, perwakilan warga juga mendatangi kantor DPP Serikat Hijau Indonesia di Jatipadang Pasar Minggu Jakarta Selatan untuk berkoordinasi dan konsultasi, perwakilan warga diterima langsung oleh Chairil Syah, SH Majelis Pertimbangan Anggota Sarekat Hijau Indonesia (SHI) yang juga seorang Advokat Senior sekaligus pengacara kepresidenan.
Kepada awak media, Chairil Syah, SH yang akrab dipanggil sapaan Bang Caca mengatakan, keberadaan tambang ini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, lebih banyak merusak lingkungan dan merugikan daripada menguntungkan. Berdasarkan penelitian dirinya, bahwa keberadaan tambang tidak banyak membawa manfaat bagi masyarakat juga tidak ada perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi kehidupan masyarakat sekitar tambang justru semakin memarjinalkan masyarakat, selain itu kegiatan penambangan berbanding lurus dengan perusakan lingkungan. Oleh karena itu, dirinya tetap konsisten menolak tambang karena penyumbang terbesar kerusakan lingkungan dan mengancam kehidupan generasi mendatang.
” Dalam waktu singkat ini kami akan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait juga Gubernur Sumsel dan Bupati Lahat agar kegiatan tambang batubara di Kabupaten Lahat khususnya di Muara Lawai segera dihentikan,” Tegas bang caca dengan lugas. Senin, (26/11/2018).
Editor : Ivi Hamzah