LAHAT, Gemasriwijaya.Net –
Oleh :
*TG. Prof.DR (HC) Fekri Juliansyah, Ph.D*
LAHAT, Gemasriwijaya.Net –
Putra Semende ( Peneliti dan Mubungan Djagat Utama Pemerintahan Adat SEMENDE DARUSSALAM )
Dan
*Marshal Putra Semende* ( Pemerhati Sosial dan Hukum Adat Indonesia )
PENGERTIAN SEMENDE
Dalam *Kaedah Usul Kata dan Ilmu “Ngaji Duduk Semende”*, Kata “Semende” berasal dari 3 (Tiga) Suku Kata yaitu _SE, _ME_, dan _NDE_.
*SE* maknanya satu (Tunggal) atau Esa. *ME* merupakan Simbolik (Isyaroh) Nama Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam. Sedangkan *NDE* bermakna Memiliki (Kepunyaan).
SE ME dan NDE ini dalam ejaan surat ulu dari lembaran Kaghas
Dari KETIGA suku kata tersebut, Secara Etimologi, SEMENDE bermakna Penyaksian (Memiliki, Mengakui) adanya Dzat Yang Maha Tunggal dan Penyaksian bahwa Baginda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam adalah Utusan (Rasul) ALLAH Subhanahu Wata’ala.
Penyaksian kepada ALLAH Subhanahu Wata’ala inilah yang dikenali sebagai Syahadatain (bahasa Arab) dan Semende (bahasa Melayu).
Secara Ilmu Hakikat, “Semende” itu bermakna Syahadatain.
Hal ini sesuai dengan syarat utama dalam ADAT SEMENDE adalah beragama Islam atau Bersyahadat.
*SEMENDE* bukan nama *SUKU* melainkan ajaran nilai – nilai Islam yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat. SEMENDE merupakan _Tatanan Adat dan Budaya_ serta Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang dicetuskan pertamakali di dusun Perdipe (secara administratif kini berada di wilayah Kota Pagaralam – Sumatera Selatan) pada tahun 1072 H atau bertepatan dengan tahun *1650 M*
Pendiri Utama Adat Semende yaitu *Toean Sayyid Nur Qodim Al Baharuddin* yang dikenali (dijuluki) sebagai *Puyang Awak*.
Puyang Awak adalah Cucu kandung dari Pangeran Mas Zainul Ariffin (Panembahan Ratu Cirebon/Sultan Cirebon III berkuasa 1570 M – 1659 M).
Dengan kata lain, Toean Sayyid Nur Qodim Al Baharuddin adalah Dzurriyaat dari Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) dengan nasab geneologis sebagai berikut : Toean Sayyid Nur Qodim Al Baharuddin binti Ratu Mas Rana Menggala binti Pangeran Mas Zainul Ariffin bin Pangeran Suwarga (Seda Ing Kamuning/Dipati Carbon) bin Pangeran Pasarean bin Syeikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati).
Sementara dari garis Ayahnya, Toean Sayyid Nur Qodim Al Baharuddin adalah Putra dari Prabu Danurasia yang dikenali sebagai Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang dari Kerajaan Mataram yang kalau diurut silsilah garis laki – lakinya hingga ke Toean Sayyid Ali Nuruddin (Puyang Atung Bungsu), Pendiri Keratuan Djagat BESEMAH.
Dari garis laki-laki tegak lurus ini, Toean Sayyid Nur Qodim Al Baharuddin (Puyang Awak) adalah generasi ke-15 dari Puyang Atung Bungsu.
Para Pendiri *Adat SEMENDE* ini merupakan Dzurriyat para Raja/Sultan di Nusantara di antaranya dari Trah Keratuan Djagat Besemah, Kesultanan Cirebon, Kerajaan Mataram Islam (Kesultanan Mataram), Kerajaan Pagaruyung, Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Melaka, Patani Darussalam dan lain sebagainya.
Karena itu terdapat Istilah bahwa Adat Semende *Ditanam* oleh Para Puyang yang berasal dari Multi Etnis bahkan lahir dari hasil *Muzakarah Ulama Rumpun Melayu* di dusun Perdipe pada tahun 1072 H/1650 M (Hasil Penelitian DPMU Sumsel dan Muzakarah Pemerintahan Adat Semende Darussalam).
Diantara tokoh yang mewarnai lahirnya Adat Semende selain Puyang Awak adalah *Sultan Ahmadsyah* (Dari Kerajaan Pagaruyung) dan *Toean Sayyid Regan Bumi* (Puyang Regan Bumi (Ahli Hukum Adat), *Puyang Sayyid Rebu Shamad*, *Puyang Mas Pangeran Bonang* (Dari Kerajaan Mataram), *Puyang Tuan Kecik (Tanjung Laut), Puyang Samewali, Puyang Kecabang Sanak Pure dan Puyang Pemeriksa Alam* (Dari Besemah), *Puyang Sang Murti* (Dari Rindu Ati Tabah Penanjung – Bengkulu), *Puyang Agung Nyawa/Syeikh Abdul Malik* (Trengganu – Semenanjung Malaya), *Puyang Hasanuddin* (Dzurriyat Kesultanan Banten) dll.
Muzakarah para Ulama, Raja, Sultan tersebut melahirkan falsafah Adat Semende sebagai *” Adat Besendikah Syara’, Syara’ Besendikah Kitabullah”* , falsafah ini lebih dulu dipakai di wilayah Kerajaan Pagaruyung.
Adat Semende mentransformasi nilai-nilai dan ajaran yang berlaku di rumah tangga Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam (Ahlul Bait) dan Mencontoh kepemimpinan di Madinah Al Munawaroh.
Berbicara masalah Adat Semende tidak terlepas dengan istilah _TungguTubang_
Dari segi bahasa, Tunggu Tubang terdiri dua kata yaitu Tunggu dan Tubang.
Tunggu artinya menunggu atau orang yang menunggu; menempati. Sedangkan Tubang adalah Harta Pusaka yang diamanahkan (titipkan) untuk dipelihara; dijaga dan atau dikelola. Tunggu Tubang menurut fungsinya antara lain :
1. Sebagai *Perlambang (Simbolik)* Kekeluargaan dan Kekerabatan dalam adat Semende.
Sistem Kepemimpinan dalam Rumah Tunggu Tubang (Adat Semende) dikenali sebagai *Kepemimpinan Meraje*. Kepemimpinan ini terdiri dari Meraje, Jenang Meraje, Payung Meraje dan Lebu Meraje.
Peraturan yang harus dipegang oleh mereka yang diamanahkan sebagai Tunggu Tubang ini tercermin dalam Lambang Adat Semende yang terdiri dari lima unsur yaitu Guci, Jale, Kapak, Kujur dan Tubang (sebagai simbolik dari Rukun Islam) dan ditambahkan dengan Tebat (Kolam) sebagai unsur pelengkap (Rukun Iman).
Tunggu Tubang dalam Adat Semende itu adalah anak Perempuan Tertua yang menunggu, mendiami atau menempati dan mengelola harta pusaka yang diamanahkan kedua orangtua baik berupa rumah, sawah, jale, kapak, guci, kujur dan tebat atau kolam.
2. Sebagai *Tempat (Wadah)* menghimpun atau mengumpulkan keluarga besar atau yang dikenali sebagai Penghimpun Apit Jurai.
3. Sebagai *Jabatan (Gelar)* khusus dalam Adat Semende diberikan kepada anak perempuan tertua yang berhak mewarisi (tidak boleh dijual) baik berupa rumah , sawah, kebun milik orangtua dengan kewajiban memelihara dan mengelolanya sesuai amanah dari kedua orangtuanya.
Editor : Ivi Hamzah