Cerpen
Oleh Pinasti S Zuhri
Matahari siang itu begitu terik, kendaraan bermotor dan asap knalpot deras menyiram jalan raya. Pak Bo terpancang di trotoar, menarik nafas panjang dan menyeka keringatnya dengan lengan baju putih yang penuh debu. Sudah lima jam pak Bo berjalan kaki tubuh gemuk pendek itu gemetar meneruskan langkahnya menuju taman yang dilingkari jalan. Pak Bo meletakkan buntalan di pundaknya dan duduk di bawah pohon akasia. Belai angin meninabobo-kan pak Bo.
***
Di desa tempat pak Bo tinggal sedang dilanda musim paceklik, kemarau berkepanjangan dan irigasi yang tak berfungsi sebagaimana mestinya membuat tanah sawah meretak dan hampir seluruh tanaman pangan mati. Panen tahun ini gagal pendudukpun banyak yang makan rebusan ubi kayu sebagai pengganti nasi.
Rumah panggung kayu merawan itu tampak redup dibias lampu duduk. Seorang wanita tua duduk di tikar purun sambil menjahit baju. Dari dapur seorang gadis belasan tahun berambut panjang berjalan membawa nampan berisi cangkir.
Pak Siti mau kerja di kota, kata Siti sambil meletakkan cangkir kenceng yang berisi kopi ke hadapan bapaknya.
Kita ini orang desa, nanti kamu ditipu. Coba kamu dengar berita, banyak anak gadis yang tertipu, jawab pak Bo.
Tapi Siti diajak Reni pak, tak mungkin Reni menipu Siti,
Reni itu siapa? Rasanya tak ada anak gadis desa ini bernama Reni, Tanya mak Konah istri pak Bo.
Reni itu Minah mak, kalau di kota panggilannya Reni, jawab Siti sambil mengambil jarum jahit dari tangan ibunya.
Kamu pikirkan lagi, kamu anak kami satu-satunya. Nanti jika terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana?
Pak, mak kalau Siti terus di desa ini Siti tidak akan pernah maju. Siti ingin hidup yang lebih baik, Siti mau belikan baju untuk bapak dan mamak, Siti sudah bosan melihat bapak dan mamak berpakaian kumal, Siti mau merubah hidup kita mak. Air perlahan mengembun di matanya.
Bukan kami tak mengizinkan tapi coba fikirkan lagi, kamu anak kami satu-satunya Siti, kata mak Konah memelas menatap dalam wajah anaknya.
Siti berjalan ke belakang tak lama kemudian keluar kembali dengan memakai kerudung dan menyalami kedua orang tuanya.
Sebenarnya Siti sudah lama berkeinginan untuk bekerja di kota seperti Yuli, Andi dan Ani yang kini bekerja di pulau Batam atau Yono dan Budi yang merantau ke pulau Jawa dan Reni yang sukses di Palembang tapi mengingat keadaan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia Siti tak sampai hati mengutarakan maksudnya tapi karena keadaan Siti terpaksa bertolak dari desanya.
***
Dua bulan berjalan semenjak kepergian Siti, tiada kabar hilang berita. Mak konah resah, siang malam dia selalu melamun memikirkan nasip anak gadis semata wayangnya. Demi berhenti tangis Istrinya dan demi cintanya pada keluarga subuh itu pak Bo turun ke Palembang.
Tiba di terminal Karya Jaya pak Bo membuka kertas kumal berisi tulisan yang hampir kabur, alamat tempat Siti bekerja yang ditinggalkan saat hendak pergi dulu.
Dik numpang Tanya, kata pak Bo sambil menunjukkan kertas itu pada seorang pedagang rokok keliling.
Wah saya tidak tahu pak, jawab pedagang itu sambil mengembalikan kertas pak Bo.
Begitupun dengan setiap orang yang dijumpainya pak Bo selalu menanyakan keberadaan alamat Siti namun lagi-lagi pak Bo menarik nafas panjang, sudah tak terhitung kali pak Bo bertanya tapi tak satupun orang yang tahu di mana alamat tersebut berada.
***
Pak Bo mengucek matanya, matahari tak tampak lagi hanya sinar lampu jalan sayup-sayup sampai ke mata pak Bo. Jauh diseberang pak Bo berdiri, irama dangdut mengalun membentak malam warung rokok berjejer di pinggir jalan, sepeda motor, mobil dan becak terparkir di sebuah bangunan yang berkelap kelip.
Pak Bo kembali berjalan, langkah kakinya gontai karma perut yang sedari pagi belum diisi membuat dengkulnya lemas. Tiba-tiba derit rem dari mobil yang melaju kencang mengejutkan pak Bo. Seseorang terlempar dari pintu yang menganga lalu dalam hitungan detik mobil itu melesat hilang di tikungan jalan. Pak Bo tergesa-gesa mendekati.
***
Seseorang tertelungkup, rambutnya yang panjang semrawutan, bajunya terkoyak di sana-sini dan dari mulutnya terdengar tangis dan rintih kesakitan. Pak Bo membalik tubuh itu, mata pak Bo menangkap seraut wajah perempuan lebam, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah.
Tolong saya Suara perempuan itu terputus, bahkan tak terdengar lagi deru nafasnya. Pak Bo menjerit parau minta tolong.
Rembulan menangis di serambi hati pak Bo, dengan mata yang penuh luka dan perasaan yang berlumur darah pak Bo membopong tubuh perempuan itu.
***
Rerumputan masih basah oleh embun, hujan rintikpun satu-persatu mengguyur tanah. Mak Konah duduk terpejam di garang rumah panggungnya, sesekali matanya terbuka dan membenahi kain karung terigu yang menyelimuti tubuhnya.
Anakku! Siti.
Mak Konah menjerit, beranjak dari tempat duduknya menuruni anak tangga tapi kaki kurus tak kuat menapak. Mak Konah jatuh.
Siti mengapa kamu tak masuk ke rumah, di luar sini dingin nak,
Mak Konah merayap, dia tersenyum mak Konah bahagia sekali.
Sudah lama mamak rindukan Siti, Siti ke mana saja? Peluk ibu nak, mamak sayang sama Siti, jerit mak Konah lagi. Sementara pak Bo berdiri terpaku melihat istrinya, air matanya jatuh seperti rintik hujan pagi itu.
Jangan tinggalkan mamak lagi nak.
Meongmeong
Kucing dalam pelukan mak Konah semakin keras mengeong, mak Konah tertawa sambil menciumi kucing yang erat dalam peluknya itu.
Jangan tinggalkan ibu lagi nak,
Palembang, September 2006.
Editor : Ivi Hamzah