Oleh : Pinasti S Zuhri
Hidup yang Rendi arungi ada batasnya, yang terlihat hanya air dan gumpalan awan terkadang berwarna putih dan terkadang berwarna hitam.Rendi tak tahu sampai kapan tulang kedua tangannya sanggup menggenggam kayuh. Bukan satu kebetulan jika Rendi sekarang terdampar di tengah kota.
***
Perasaan Rendi berkecamuk di jelaga malam, bencana yang memetik dawai di relung kota telah meremuk redamkan dadanya. Matanya menatap kosong hamparan air yang menggenang, jiwanya mencari-cari sekuntum bunga mawar yang ditanam Malinda putrinya di pekarangan rumah. Tiba-tiba Rendi meraung serak, pilu semakin menyayat dingin. Malinda lekas memeluk suaminnya. Pedih itu menjerit bersama.
Subuh menyibakkan gelap, Rendi tak beranjak dari hadapan tubuh mungil anaknya yang terbaring di sehelai tikar basah. Detik terasa membeku dan Rendi sudah tak kuasa berkata apa-apa lagi, bahkan untuk menangispun ia telah kehabisan air mata.
Anakku, kemanakah engkau pergi sekarang? Tuhan, tak ada lagi yang dapat menolong kami selain Engkau, Batin Rendi, kembali terpaku di kesunyian.
Hujan rintik masih menyiram tenda tempat Rendi berteduh, bersama Septi istrinya dan beberapa orang tetangga. Mereka berdiam diri, hanyut dalam gundah masing-masing, larut dalam pucat wajah alam.
***
Cahaya matahari perlahan menghangatkan sendi tulangnya. Pagi ini tak seperti biasanya, ia tak lagi mendengar Malinda menyanyi. Tanpa manja Malinda, Septi mencoba mengejar nostalgi, merangkai dalam ingatan saat-saat indah bercengkrama dengan buah hatinya. Septi melamun menatap biru mega, hanya itu yang membuatnya sedikit lega. Ia tak ingin melihat hamparan tanah tempat ia berpijak yang hanya akan mengundang jerit tangisnya. Ternyata matahari tak sanggup mengeringkan gulir air mata di pipi Septi, tak sanggup meluruhkan duka seorang ibu yang telah kehilangan anaknya.
***
Lima belas hari yang lalu, sebelum menginjakkan kaki di kota, Septi, Rendi dan Malinda hidup di desa. Sehari-hari Rendi menggarap sepetak sawah warisan bapaknya, Septi pun membantunya dengan bertanam sayuran di pekarangan bilik bambu mereka. Sampai akhirnya khayal tentang keindahan kota menggelayut di kepala Rendi.
Dek, rasanya kita takkan pernah merubah hidup jika terus berdiam di sini, tiba-tiba Rendi berucap setelah menyedot secangkir kopi yang diletakkan Septi di meja ruang tamunya.
Maksud kakak? Septi mengerutkan keningnya.
Bagaimana kalau kita pindah ke kota, di sana tentunya kita dapat merubah nasip, kita dapat menyekolahkan Malinda dengan baik.
Sudah cukup hidup kita di sini kak, kita tak punya sanak saudara di kota.
Kita jual sepetak sawah kita dan rumah ini, aku rasa cukup menjadi modal, kata Rendi.
Septi menarik nafas panjang menarik kursi bambu dan duduk di hadapan suaminya, tak terbayang di kepalanya akan meninggalkan kampung halaman, meninggalkan riuh kicau burung, lambaian nyiur, kuning padi serta bening air yang mengalir membelah desanya.
***
Rumah itu hanya merupakan petak-petak kecil, dindingnya terbuat dari kayu seadanya dan atap seng bekas yang sudah karatan dan bolong di sana-sini. Rumah itu berdesak-desakan dipinggir sungai kecil yang dibendung. Tumpukkan sampah dan keruhnya air menebarkan lalat-lalat. Suasana yang sedemikian asing harus mereka terima dengan lapang dada. Rendi suaminya tercinta tentu akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak dan istrinya. Sudah lima belas hari Septi, Rendi dan Malinda anaknya membiasakan diri dengan kehidupan barunya.
Rendi mulai bekerja sebagai buruh bangunan di sebuah pembangunan pertokoan, mang Zaini tetangganya yang mengajak. Uang hasil penjualan sepetak sawah dan rumah di desa telah habis untuk membangunan tepat bernaung dan biaya makan sehari-hari. Ada sedikit sesal di hatinya ketika mengetahui keadaaan kota yang sama sekali di luar dugaannnya namun untuk kembali ke desa Rendi sudah tak punya apa-apa lagi.
***
Rendi sedang berada di atas gedung pertokoan ketika angin menderu seperti hendak memberi badai di bumi. Perlahan-lahan awan hitam menutupi siang. Cemas mulai menjalari perasaannya, Rendi tetap berdiri di salah satu sudut bangunan, berlindung di balik beton sambil terus memandang langit, suara guntur meledak-ledak.
Ah gawataku harus pulang, batin Rendi, Ia ingat anak istrinya di rumah.
Rendi segera turun dan berlari menuju tempat tinggalnya, tak dekat jarak yang ditempuh namun bayangan wajah anak dan istrinya seakan memberikan kekuatan pada kedua kakinya untuk terus menapak di jalan yang mulai tersiram hujan.
Deru angin semakin kencang dan hujan semakin menjadi-jadi, air mulai menggenang setinggi betisnya. Orang-orang tunggang-langgang menyelamatkan diri, berteriak meminta tolong dan menangis lalu tak berselang beberapa lama, sungai yang tak dapat lagi menampung hujan meluap, memuntahkan airnya ke daratan, meluluh lantakkan setiap bangunan yang berdiri.
Nafas Rendi terengah-engah ketika sampai di kampungnya, ia tak melihat satu orangpun di sana, termasuk anak dan istrinya. Kepalanya berputar-putar, matanya mencari-cari, hanya air dan air yang lekat di pandangnya.
Malinda! Dek! dimana kalian, teriak Rendi, sementara air semakin deras dan kini gelombangnya menuju arah Rendi.
Rendi terseret arus, tubuhnya kini bagai daun kering di tengah samudra. Ia coba kepakkan tangannya namun ia harus menyerah dengan mengikuti ke mana arus bermuara.
Hari mulai gelap ketika Rendi terdampar di pinggir sungai. Tetangganya menemukan Rendi saat gelombang tak lagi beringas. Rendi diangkut ke tempat yang lebih tinggi ke sebuah tenda, Rendi selamat.
***
Saat ini sedikit demi sedikit sesal datang membayang di pelupuk batin Rendi, andai tak tinggalkan desa, tentunya tak ditemuinya bencana ini. Ia tak kuasa melihat Septi yang terus melamun, betapa besar rasa bersalah Rendi kepada istrinya, mengajaknya merantau ke kota meninggalkan desa tercinta. Sementara itu Septi mencoba memejamkan matanya diantara becek lumpur sisa banjir, dan berharap jika bangun nanti ia akan berada kembali di desanya, riang bercanda bersama Malinda anaknya.
Palembang, Februari 2007.
Editor : Ivi Hamzah