Laporan : Karel
GEMAS – LAHAT
Sejak adanya izin usaha pertambangan lokal yang tersebar di dua Kabupaten Lahat dan Muara Enim, kini masyarakat di kawasan sejumlah tambang batubara di Merapi mulai merasakan dampak negatifnya, terutama saat cuaca panas serta kotornya lingkungan akibat dampak debu batu bara yang diduga tidak mematuhi standar pemerintah 10/19.
“Yang dulu terasa asri dan sejuk, kini semua berubah. Di samping menyempitnya lahan pertanian area perkampungan menjadi kumuh”, keluh Pebri (30) warga Merapi saat dikonfirmasi langsung oleh pewarta, Minggu (10/2/19).
Dikisahkannya, cuaca yang begitu panas serta debu yang mengakibatkan rumah jadi kotor, hingga harus dibersihkan atau disapu sampai berulang ulang. Selain adanya dampak lingkungan yang berubah, warga pun mengeluhkan adanya aktivitas perusahaan yang beroperasi tidak jauh dari area perbukitan. Sehingga warga sangat mengkahawatirkan akan terjadi bencana alam yang begitu dahsyat.
“Harapan utama bagi kami sebagai warga merapi, agar Izin Usaha Pertambangan yang beroperasi tidak jauh dari perbukitan serta adanya dugaan operasional perusahaan pertambangan yang diduga tidak sesuai dengan standar undang undang minerba no 4 tahun 2009 seperti PT. DAS, BME,MAS, BBA, PTBA, PRIMA, BP, itu ditinjau ulang. Terutama tentang IUP yang diberikan kepada perusahaan pertambangan”, harapnya.
Pebri bersyukur atas keputusan Bapak Gubernur Sumsel yang telah menghentikan aktivitas oprasional perusahaan angkutan batubara pada pada siang hari, Karena menurut dia, adanya mobil batubara milik perusahaan yang beroperasi menggunakan fasilitas publik di jalan raya lintas Lahat – Muara Enim, kuat adanya dugaan sebagai produsen dabu.
“Sehingga masyarakat yang rumahnya di pinggir jalan raya, terdampak debu pekat akibat angkutan batu bara yang melintas di jalan umum itu”, urainya.
Editor : Ivi Hamzah