Rilis : SMSI
SURABAYA, gemasriwijaya.net – Mencuatnya konten medsos yang dilakukan oleh bos mafia Gedang terhadap profesi wartawan pada 11 Mei 2023, patut diduga memenuhi unsur adanya ujaran kebencian Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Jawa Timur HS. Makin Rahmat SH MH, meminta Polri segera melakukan pengusutan sehingga membuat jerah pelaku maupun masyarakat lain tidak asal membuat konten yang menyinggung perasaan mengandung unsur SARA apalagi melecehkan profesi wartawan.
“Walaupun pelaku sudah meminta maaf, bukan berarti menghapus perbuatan yang sudah jelas patut diduga mengumbar kebencian dan melecehkan profesi jurnalis,” ungkap Makin Rahmat, dalam siaran pers, Senin (15/5/2023).
Lanjut Makin Rahmat, juga pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim, dalam Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2), UU ITE menyebut, orang yang menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menimbulkan rasa kebencian maupun permusuhan dapat dipidana penjara paling lama enam tahun dan atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
“Konten yang dibikin jelas memenuhi unsur adanya pidana. Mengapa? Melalui konten TikTok merupakan komunikasi publik dengan maksud untuk diketahui khalayak (public virtual), dapat dikualifikasikan bahwa postingannya memang dimaksudkan untuk diketahui umum, atau sengaja disebarkan untuk konsumsi publik.
“Saya yakin tim penyidik lebih profesional untuk menindaklanjuti adanya dugaan ujaran Kebencian. Walaupun pasal di UU ITE dicabut dan penggantinya di UU KUHP Baru, Polri punya kewajiban sebagai APH (aparat penegak hukum) segera merespon,” ulasnya.
Menurut Makin Rahmat, permintaan maaf yang disampaikan bos mafia Gedang tidak menghapus adanya publis di medsos, dimana siapa saja bisa meng-upload. Maka, APH segera memanggil para yang terlibat dalam produk konten tersebut. Siapa saja yang bertanggung jawab.
“Kalau APH tidak segera merespon akan menjadi preseden buruk dan akan merendahkan marwa dan martabat profesi wartawan. Kalaupun ada oknum (wartawan) yang berbuat tidak bisa digeneralis, disamaratakan. Apalagi, APH khususnya Polri merupakan mitra jurnalis dan bersama pers merupakan bagian dari empat pilar demokrasi,” pungkasnya.
Sekedar informasi, memang penerapkan pidana tambahan pada Pasal 243 ayat (2) UU KUHP juga menerapkan ancaman hukuman ujaran kebencian lebih rendah dibanding UU ITE. Sanksi yang semula berupa pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar dalam UU ITE, menjadi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV dalam UU KUHP baru.
Tetapi ada hal yang memberatkan, bila proses penyebaran informasi dilakukan di medsos yang bersifat publik. Sehingga APH memiliki kewenangan untuk melakukan prioritas, kalau UU ITE bersifat khusus.
Editor : Ivi Hamzah