Laporan : Toni R
LAHAT, Gemasriwijaya.Net – Koramil 405-08 Jarai pada 12 April 2022 lalu menyalurkan program dari pemerintah pusat melalui Mabes TNI, yakni Bantuan Tunai Pedagang Kaki Lima, Warung dan Nelayan (BT-PKLWN) kepada warga di wilayah Desa Pajar Bulan Kecamatan BBM Pajar Bulan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dana bantuan ini dikucurkan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Diberitakan, BT-PKLWN-TNI 2022 untuk wilayah Koramil 405-08 Jarai mendapat alokasi 1208 ribu orang di mana setiap orang mendapat bantuan sebesar Rp,600.000. Sayangnya, di tingkat Desa Pajar Bulan Kecamatan Pajar Bulan bantuan tersebut diduga disunat sekitar Rp100.000 sehingga per orang hanya mendapatkan Rp500.000.
Fenomena ini diduga terjadi di Desa Pajar Bulan, Kecamatan Pajar Bulan Kabupaten Lahat.
Sejumlah warga Desa Pajar Bulan yang masuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM), yang mayoritas pedagang, mengaku bantuan yang mereka terima diduga disunat Rp100.000 sehingga yang mereka terima masing-masing tinggal Rp500.000 dari seharusnya Rp600.000 per orang.
Dikonfirmasi soal dugaan penyunatan dana BT-PKLWN ini oleh ketua forum Kades Kecamatan Pajar Bulan Adi Sasmiko, Kepala Desa Pajar Bulan Debi Saherli tidak Bisa menjawab. Hanya saja, kata Danramil 405-08 Jarai Kapten Inf Subianto, saat diminta pihak media untuk menghubungi Kepala Desa Pajar Bulan, Pihaknya mengatakan hal itu bukan pemotongan, melainkan sukarela dari para KPM sendiri. “Tidak ada potongan. Itu sukarela untuk ongkos ke Koramil,” kata Debi, Jumat (10/6/2022).
Namun, Debi tak menjawab saat ditanya apa dasar hukum pemotongan dana yang ia klaim sebagai sukarela itu.
Info yang diterima Desa Pajar Bulan, mendapat alokasi BT-PKLWN sebanyak 48 KPM.
Artinya, jika per orang dana bantuannya disunat Rp100.000, maka terakumulasilah dana sebesar Rp.4,8 juta.
Ditanya dana sebesar itu diberikan kepada siapa dan untuk apa, Debi tidak menjawab.
Begitu pun saat ditanya bukankah ongkos ke Koramil Jarai cukup 20rb/orang saja, mengapa harus Rp.4,8 juta, lagi-lagi Debi tidak menjawab.
Catatan Lahathotline.com, dalam beberapa kasus pemotongan dana bantuan Covid-19, aparat penegak hukum biasanya menerapkan pasal yang berbeda untuk penyelenggara negara atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN. Bila penyelenggara negara atau ASN, maka aparat penegak hukum biasanya menerapkan Pasal 12e Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan ancaman hukuman paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Jika pelakunya penyelenggara negara atau ASN, juga bisa dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 6 tahun penjara.
Jika pelakunya non-penyelenggara negara atau non-ASN, pelakunya bisa dikenakan pasal praktik pungutan liar (pungli) dengan ancaman pidana maksimal 9 tahun penjara.
Secara hukum, mengenai tindakan pungli, pelaku bisa dijerat dengan Pasal 368 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Atau bisa saja dengan restorative justice (keadilan restoratif) yang dicanangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan kemudian diikuti Jaksa Agung St Burhanuddin, yakni dengan mengembalikan dana yang sudah terlanjur dikutip kepada pemiliknya, sehingga persoalan kemudian dianggap selesai.
Editor : Ivi Hamzah