Berikut 2 puisi untuk dibacakan dalam lomba baca puisi SMSI Lahat dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
RESEP HEHANCANG TEHUNG*
Karya Okta Saputra
1.
Bila datang laparmu,
pergilah ke ladang
Petiklah terung terakhir
yang tak sempat gugur
Lalu tanggalkan keluh kesah
untuk ditukar ikan lais
yang kini hanya hidup di
tidur lelap para nelayan
2.
Sulut puntung kayu dengan
api yang belum padam dari
masa lalu tak tertanggungkan
Asap akan bekerja untukmu:
melumuri ikan lais dengan
aroma cita-cita terbakar
Sampai kau paham bila
lais pelan-pelan mulai
dieja sebagai salai
3.
Lupakan jamur tiram
Kau cukup beruntung
rabuk-rabuk gerigit nekat
bertunas di jati-jati mati,
getah-getah lapuk, juga
tiang-tiang kampung
halaman berhantu
Maka keruk dan
tadahlah sebagian
Sembari mengeluh tentang
nasib kawan yang hilang
4.
Orang-orang mengerti:
dapur tak pernah benar-
benar menyimpan dendam
selain rempah segala rupa;
garam segala ragam
Maka kerat & tumbuklah
seluruhnya sekeras orang-
orang kota menekan
amarah di jalan raya
5.
Tampung air dengan
belanga paling gembung
Amat gembung sampai
kau bisa melihat masa
lalu berenang-renang di
dalamnya; masa kini tak
ditemukan di mana-mana;
dan saat kau didihkan air,
masa depan ikut menguap
dari mulut lambungnya
6.
Di perut belanga, saat
kemudian tiap-tiap bahanmu
bertemu, kita melihat bentuk
mini dunia berlaku: terung,
ikan lais, rabuk-rabuk gerigit,
rempah-rempah dan garam
saling ligat berebut nasib
Berkeras atau lesap; membuat
takluk atau dibuat tunduk
Maka seperti juga bunyi dor
dari letupan peluru pertama,
kau hanya perlu menunggu
7.
Bila telah empuk terungmu,
padamkan api pendidih
Kucurkan semua isi belanga
pada wadah, lalu suaplah:
suapan pertama adalah
tembok kamar lama yang
dibangun ulang dan tak bakal
mencelakaimu; suapan
kedua adalah kelakar-kelakar
negara yang luruh dari sistem
pencernaanmu; suapan ketiga
adalah afeksi yang lama tak
dikenali; sedang suapan-
suapan setelahnya hanyalah
pesan-pesan keselamatan
berulang, bahwa: kau hanya
punya diri sendiri; kita hanya
punya diri sendiri; kesendirian
membuat kita bersama-sama.
Desember 2020
MASIH ADA KUDENGAR
; Kepada Bambang Hidayat.
Karya Dee Hwang
Mei dalam kerumunan
Kota ini telah berulang kali lahir
Di sepanjang Lematang, masih ada kudengar;
Kebile-bile di sepanjang pasar,
musim beranyutan, ban-ban berampan.
Lalu sorak sorai rakit terakhir melewatiku
Seperti kesukaran dan kesalahan, pada arus sesungguhnya—manusia berpesta dengan melawan dan memasrahkan diri sendiri.
Hijau zamrud, aturan alam, dan kerja manusia pernah mencelang mata kita
Bukit barisan, kebun kopi di seberang, piluk terperangkap selemate
Sempadan tempat kursi-kursi mencuri ruang kosong
Di atas jembatan benteng ini kau berkata-kata.
“Itulah jejak-jejak yang ditinggalkan hidup,
anak-anakku, pandai-pandailah mengingat.”
Ini sore masih mengalir pertanyaan-pertanyaan.
Persis rasa penasaran,
Mengapa masa kecil serupa jalan di depan rumah kita
yang berlubang.
“Ulangi langkah-langkah kecil, ulangi
ceritaku kepadamu,
Lahat tak hanya menuntut pembacaan ulang
Agar kau tak sekedar tahu jalan pulang.”
Masih ada kudengar, Ayah, di tiap persimpangan—
di sini aku kehilangan dan diterima.
Aku dan kota ini seperti waktu yang senantiasa bekerja,
setelah sepasang kekasih saling menemukan.
(2020)