*KPHL Koordinasi Gakkum Kehutanan
PAGARALAM, Ampera Sumsel – Aksi pengerusakan tanaman Kayu Panjang Umur (Cantigi, latin) yang habitat aslinya hanya berada di kawasan puncak Gunung Api Dempo makin meluas. Bahkan terpantau, usai libur pergantian tahun, momen ramai pendakian ini menjadi kesempatan para pendaki liar membawa turun tanaman habitat asli tumbuh di pelataran puncak tertinggi di Sumsel ini. Senin (9/1).
Menyikapi hal tersebut, Kepala Kesatuan Pengawasan Hutan Lindung (KPHL) Kota Pagaralam, Hetty mengakui, aksi pengerusakan tanaman habitat asli di Gunung Dempo ini masih terus dilakukan oleh para pendaki liar.
“Kita sudah melakukan sosialisasi dengan melibatkan berbagai pihak, salahsatunya para pencinta alam di Pagaralam. Hanya saja hingga saat ini masih saja ada oknum pendaki tetap mengambil tanaman ini untuk dibawa turun,” jelasnya.
Dia menegaskan, selama ini, untuk penindakan kepada oknumnya masih terkendala dengan prosedur. Dalam hal ini belum ada petugas berwenang. “Sudah jelas, perbuatan pengerusakan di Gunung Dempo yang masuk kawasan lindung Dilarang dan melanggar, merujuk UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan,” ungkap Hetty.
Bisa ditindak, ujar Hetty menegaskan. Hanya saja, secara proseduralnya harus ditindak oleh petugas yang berwenang, salahsatunya Polisi Hutan (Polhut), sementara di Pagaralam sendiri belum ada.
“Hal ini menjadi kendala. Kendati demikian, sejauh ini telah ada Petugas Gakkum (penegakan hukum) Kehutanan. Dan akan kita koordinasikan kepada Gakkum untuk menindaklanjuti setiap temuan pelanggaran di kawasan hutan lindung, termasuk yang ada di Pagaralam,” kata dia seraya mengatakan, untuk saat ini kendala lainnya instansi kehutanan (UPTD KPHL) belum terbentuk, namun para stafnya sudah di SK-kan dan diambil alih Provinsi, karena Dishutbun baru saja dibubarkan.
Terpisah, Sekjend Forum Pencinta Alam (Forpa) Besemah Kota Pagaralam, Arindi AR mengatakan, dirinya belum lama ini mendapati temuan para pendaki yang turun dari Dempo masih membawa tanaman kayu panjang umur.
“Lambat laun, tanaman ini tak hanya rusak, namun berujung kepunahan karena terus diambil. Sementara mengembalikan populasi Cantigi butuh waktu yang cukup lama. Mengingat, waktu tanam dari mulai pembibitan dengan cara polybag memakan waktu 1 – 2 tahun, itu pun dalam keadaan normal tanpa gangguan ekosistem maupun cuaca ekstrem,” katanya.
Arindi juga menyayangkan, hal ini juga dipicu karena tidak adanya peraturan atau sanksi tegas dari pemerintah melalui dinas terkait tentang sanksi bagi mereka (pendaki) yang melakukan pengambilan pohon kayu panjang umur. “Padahal dalam beberapakali pertemuan selalu kita suarakan kepada pemerintah, agar dapat mengeluarkan peraturan serta sanksi tegas kepada pendaki. Namun, sampai sekarang belum juga ada,” pungkasnya.(Dian)